Inovatif! Atasi Kekeringan, Siswa Ini Olah Air Limbah Tekstil untuk Kebun Sayuran
13 Januari 2025
Dua siswa dari Teotitlán del Valle di Oaxaca, Meksiko, meraih penghargaan atas inovasinya membuat filter air berbiaya rendah untuk membantu mengatasi kekeringan di desanya.
Shanni Valeria Mora (16) dan Rosa Mendoza Sosa (17), merancang sebuah sistem penyaringan untuk memurnikan air limbah bekas pencelupan tekstil, lalu menggunakannya kembali untuk pertanian sayuran di desa mereka.
Menyitat dari situs web Mexico News Daily, penemuan mereka bertujuan untuk mempromosikan keberlanjutan, melestarikan tradisi budaya entitas dan membantunya bertransisi menuju ekonomi sirkular.
Atas inovasi ini, keduanya berhasil mendapatkan Diploma of Excellence pada ajang Stockhom Junior Water Prize 2024, atau yang dikenal sebagai “Hadiah Nobel untuk Air”.
Proyek mereka terpilih dari lebih dari 30 finalis karena dampak positifnya terhadap isu-isu lingkungan dan sosial.
Mayoritas kegiatan ekonomi utama di Teotitlán del Valle, adalah produksi tekstil dengan sekitar 70% populasi terlibat dalam industri ini.
Menyadari dampak lingkungan dari praktik pencelupan dan ancaman yang ditimbulkannya terhadap badan air dan tanah setempat, Shanni dan Valeria menemukan solusi ideal untuk warisan tekstil di desa mereka.
“Di desa kami, tekstil bukan hanya sekadar produk. Tekstil merupakan bukti tradisi kami, dibuat dengan teknik yang diwariskan dari generasi ke generasi,” ujar Shanni dan Rosa dikutip dalam keterangannya, Senin (13/1).
(Alat filtrasi air)
Proses Filtrasi Air
Shanni menjelaskan, sebelumnya mereka melakukan diagnosis terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat di Teotitlán del Valle. Sampai akhirnya, mereka berfokus pada masalah kelangkaan air untuk kegiatan produktif seperti pertanian.
Desa ini terkenal dengan produksi karpetnya yang indah. Proses pembuatannya melibatkan pencelupan benang dengan pewarna alami dan sintetis menggunakan air bersih.
Proses pewarnaan 1 kilogram benang wol biasanya membutuhkan sekitar 15 liter air. Sayangnya, dengan semakin populernya pewarna sintetis seperti anilin dan asam, jumlah limbah air berwarna yang dibuang ke lingkungan pun meningkat drastis.
Air limbah dari proses pencelupan ini pun dibuang begitu saja tanpa pengolahan dan mengancam lingkungan sekitar.
Melihat hal tersebut, Shanni dan Rosa mengusulkan pengembangan filter rumahan untuk memfasilitasi penggunaan kembali air bekas pencelupan untuk budidaya sayuran.
“Dengan mendaur ulang air, kita tidak hanya mengurangi pencemaran lingkungan, tetapi juga melestarikan sumber daya air yang berharga,” ungkap Shanni.
Keduanya merancang sistem penyaringan menggunakan bahan-bahan seperti wadah plastik, batu, dan potongan arang untuk mendekontaminasi dan menggunakan kembali air bekas.
(Alat filtrasi air manual)
Hal ini bertujuan untuk menguji kemampuan filter buatan sendiri dalam membersihkan air yang terkontaminasi oleh pewarna alami dan sintetis. Sampel air yang telah disaring akan dianalisis untuk melihat seberapa efektif filter tersebut dalam menghilangkan zat warna.
Hasilnya, metode yang mereka gunakan bisa mendaur ulang sampai 90% air, sehingga air daur ulang tidak hanya digunakan untuk irigasi, tetapi juga untuk keeprluan pewarnaan wol.
“Kami melakukan percobaan dengan mengamati air sebelum dan sesudah disaring. Kami mengukur tingkat keasaman (pH) dan warna airnya. Hasilnya, tingkat keasaman air setelah disaring berada dalam kisaran 7 hingga 8,” kata Rosa.
Air hasil saringan juga digunakan untuk menumbuhkan benih bayam dan lobak. Rencananya, percobaan serupa akan dilakukan pada sayuran lainnya.
Tujuan utama proyek ini adalah membangun sebuah sistem yang dapat meningkatkan perekonomian keluarga, memperbaiki gizi, menjaga kelestarian lingkungan, serta menyediakan solusi pengelolaan air bersih yang berkelanjutan bagi masyarakat.
“Melalui pengelolaan dan pemanfaatan air limbah, kita dapat mengurangi polusi sekaligus melestarikan warisan budaya dan mendukung ekonomi lokal,” tutup Shanni.