Kerap Jadi Tempat Pembinaan Anak Nakal, Prof. Jimly: Pesantren Tempat Mendidik Bukan Sekadar Mengajar
Pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam yang banyak diminati untuk membekali siswa dengan ajaran agama. Namun, tidak sedikit pesantren yang dijadikan sebagai tempat pembinaan bagi anak nakal.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang para siswa atau santrinya tinggal bersama. Selama di pesantren, para santri belajar di bawah bimbingan guru yang dikenal dengan sebutan kyai, mereka juga mempunyai asrama untuk tempat menginap para santri.
Meskipun tujuan utamanya adalah untuk membekali para santri dengan ajaran agama yang mendalam, tetapi tidak sedikit orang tua yang menjadikan pesantren sebagai tempat pembinaan bagi anaknya yang sulit diatur.
Para orang tua ini berharap, melalui pendidikan tegas dan disiplin di pesantren, buah hatinya bisa lebih menurut dan bisa mendengarkan nasihat mereka.
Ketua Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H., menyatakan bahwa ini merupakan fenomena yang kerap ditemui di berbagai pesantren.
“Biasanya kalau anak-anaknya nakal, ya, dikirim ke pondok pesantren. Lama-lama pondok pesantren jadi tempat jin buang anak begitu, ya, kan?” ujar Jimly kepada DAAI TV, dikutip Selasa (22/10).
Meski demikian, kata Jimly, ada aspek positif dari kemunculan stigma ini yang bisa mendorong sistematisasi pembinaan.
“Itu jadi tantangan bagi pengasuh pondok pesantren, (sehingga mereka) betul-betul menjadi pendidik bukan hanya guru pengajar. Dia betul-betul dia berfungsi sebagai pendidik. Pendidik itu beda dengan pengajar. Kalau pengajar hanya transfer pengetahuan. Kalau ini pendidik. Dia mendidik moral, lalu dia menjadi role model, uswatun hasanah, jadi contoh bagi muridnya, dan dia memberi pencerahan kepada anak-anak didik itu. Dia me-manage proses belajar mengajar bukan hanya transfer pengetahuan, sehingga proses pendidikan itu jadi lengkap,” ungkap Jimly.
(Madrasah Aliyah Asshiddiqiyah, Jakarta)
Melatih Pendidik Pondok Menganalisa Santri
Jimly melanjutkan, salah satu hal yang kurang mendapat perhatian di dunia pendidikan selama ini, adalah analisa audiens.
Selama ini, menurut Jimly, para pendidik pondok kurang menganalisa santri yang mereka ajar. Kebanyakan dari mereka, hanya menyampaikan pelajaran secara umum saja tanpa memperhatikan kondisi peserta.
“Sama seperti pemimpin agama yang berkhotbah di rumah ibadah. Khotbahnya itu tidak-tidak peduli kepada audiens yang penting dia menyampaikan ayat. Padahal dia nggak tahu ini ada beberapa kategori peserta pendengar. Ada yang lagi stres, bahagia, ketakutan, terancam mencari tempat untuk hiburan, ada juga yang ingin mendengar agar bisa menenangkan pikirannya,” jelas Jimly.
Namun, para pendidik kebanyakan tidak mengetahui kondisi santri, sehingga pembelajaran menjadi sepihak saja.
Jimly merasa, metode pengajaran sepihak ini sudah tidak bisa lagi digunakan di sekolah dan pesantren. Seharusnya, pengajar bisa mempelajari karakter setiap muridnya agar proses mendidik jadi lebih tepat sasaran.
“Di pondok pesantren itu, santri harus satu-persatu dipelajari karakternya, kebutuhannya, ini harus disasar satu-persatu secara berbeda-beda karena dia hidup bersama di pondok. Jadi perlakuan kepada si A sama si B, dipanggil, konsultasi, itulah kelebihan pondok pesantren karena gurunya di sana, tinggal di sana juga,” katanya.
Jimly menambahkan, “Jadi orang-orang yang dikirim itu yang anak nakal dan sebagainya itu ada treatment sendiri, maka lebih rumit pendidikan di pondok pesantren itu dari sekolah biasa. Nah, untuk itulah pemerintah itu harus memberi perhatian yang lebih kepada pondok karena karakteristik sifat pendidikannya itu lebih kompleks. “
Intinya, menurut Jimly, pemerintah punya tanggung jawab besar untuk membantu memperkuat pondok pesantren, baik membantu fasilitas umum maupun membantu penyediaan psikoterapi untuk anak-anak yang bermasalah.