Nggak Perlu Uang, Daftar Ulang di Sekolah Ini Cukup Bayar Pakai Hasil Bumi

16 Juli 2024
MTs Pakis di Banyuwangi. (Foto: Arbi Anugrah/detikcom)

Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pakis tidak memungut biaya pendaftaran kepada muridnya. Sebagai gantinya, biaya daftar ulang diganti menggunakan hasil bumi.

Sekolah berbasis agroforestry (wanatani) ini, terletak di Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah.

Kebijakan tersebut, bertujuan untuk memberikan keringanan kepada anak-anak kurang mampu yang tinggal di pinggir hutan.

Merangkum dari berbagai sumber, daftar ulang tahun ajaran baru 2024-2025 di sekolah ini, dibayarkan dengan menggunakan hasil bumi.

Kepala MTs Pakis Isrodin mengatakan, daftar ulang menggunakan hasil bumi merupakan upaya memberi kesempatan bersekolah pada anak desa yang kebanyakan berasal dari keluarga miskin.

“Hasil bumi ini sebagai ikatan saja, pendaftaran sekolah tidak harus dengan uang. Dengan hasil bumi sebagai bentuk ikatan bahwa setiap anak desa punya kesempatan yang harus dilayani untuk mendapat pendidikan yang layak,” ujar Isrodin kepada Beritasatu.com, disitat Selasa (15/7).

(Orang tua siswa menuka hasil bumi untuk daftar ulang. Foto: Beritasatu.com/Dian Aprilianingrum)

 

Sejarah Awal Sekolah

MTs Pakis berada di tepian hutan lereng Gunung Slamet. Lokasinya berada di daerah perbukitan, dengan ketinggian sekitar 600 mdpl. Sekolah MTs Pakis terdiri atas program Paket C, atau setara SMA dan Madrasah Tsanawiyah MTs.

Kurikulum MTs Pakis menginduk pada MTs Maarif NU 2 Cilongok yang berada di Desa Panembangan.

MTs Pakis pertama kali berdiri pada 2013, sejak saat itu MTs Pakis telah berhasil meluluskan kurang lebih 200 siswa.

Para siswa di MTs ini, berasal dari wilayah sekitar Desa Sambirata dan Gunung Lurah. Hasil bumi yang dibawa oleh wali murid, biasanya berasal dari hasil cocok tanam di masing-masing rumahnya.

Menyitat dari detik.com, MTs Pakis awalnya merupakan sekolah alternatif yang didirikan oleh para pegiat pendidikan dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Argowilis yang peduli terhadap pendidikan anak-anak pinggir hutan.

Nama Pakis sendiri, dipilih dari nama sayuran khas pegunungan yang tumbuh subur di kawasan tersebut. Konsep awal dari sekolah tersebut, adalah mengajak anak-anak pinggir hutan yang rata-rata berasal dari keluarga tidak mampu, untuk bersekolah secara gratis.

Bangunan sekolah awalnya hanya terbuat dari bangunan sederhana, berdinding anyaman bambu. Kemudian, bangunannya direnovasi setelah mendapatkan bantuan pembangunan gedung dari Kementerian Agama (Kemenag).

Untuk menjamin mutu kelulusan secara akademik, pengelola sekolah ini lalu mencari akses ke lembaga formal.

MTs Pakis selanjutnya menjadi sekolah filial dari MTs Ma’arif NU 2 Cilongok. Lulusan dari sekolah ini, diseterakan dengan lulusan siswa SLTP pada umumnya. Mereka juga mengikuti ujian nasional dan mendapatkan ijazah.

(Orang tua menukar hasil bumi. Foto: Kompas.com/Fadlan Mukhtar Zain)

 

Hasil Bumi Dinikmati Bersama

Isrodin melanjutkan, di tahun ini ada sebanyak 14 siswa baru yang mendaftar sekaligus melakukan daftar ulang. Nantinya, siswa yang melakukan daftar ulang akan mendapat alat tulis dan buku.

“Alhamdulillah, kelas 7 baru ada 14 anak yang masuk ke MTs Pakis dan ada 8 (siswa) yang paket C setara SMA. Kita masih memberlakukan daftar ulang dengan hasil bumi,” katanya.

Pembayaran daftar ulang sekolah menggunakan hasil bumi, sudah dilakukan sejak sekolah berdiri pada tahun 2013 lalu.

Menurut Isrodin, hasil bumi tersebut nantinya akan dinikmati bersama-sama dengan siswa dan orang tuanya. Pihak sekolah bersama orang tua siswa dan para relawan, juga akan melakukan gotong royong perbaikan ruang belajar.

Orang tua siswa yang akan melakuka daftar ulang terlihat membawa banyak hasil bumi, seperti kelapa, singkong, dan beragam sayuran.

Sebagian besar masyarakat memilih menyekolahkan anaknya di sekolah ini, selain karena dekat dan gratis, sekolah tersebut juga menerapkan praktik belajar secara langsung di alam.

Pasalnya, sebagian besar masyarakat di sekitar lereng Gunung Slamet bagian selatan bekerja sebagai petani.

“Orang tua di Desa Gununglurah dan Sambirata ini rata-rata petani dan berkebun di hutan. MTs Pakis masih diberi kepercayaan untuk melayani. Bagi siswa baru untuk tiga tahun ke depan, ya, tidak ada biaya,” jelasnya.

 

Siswa Belajar Keterampilan Hidup

Menarikhya, selain belajar materi sekolah yang sesuai dengan kurikulum, siswa di sekolah ini juga dibekali dengan keterampilan hidup.

“Kita kurikulum sama, serta menjadi sekolah ramah lingkungan dan satwa liar, lantaran anak-anak hidup di pinggir hutan persis. Kita belajar menanam aren, tanaman konservasi, dan lainnya,” ungkap Isrodin.

Secara terperinci, siswa juga akan mempelajari pertanian, peternakan, hingga memotret keanekaragaman hayati. Harapannya, para siswa dapat menggali potensi ekonomi yang ada di desanya, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup warga setempat.

“Anak desa harus bisa menghadapi perkembangan zaman, tapi tidak menghilangkan kedesaannya,” pesan Isrodin kepada para wali murid.

(Orang tua murid di MTS Pakis. Foto: Kompas.com/Fadlan Mukhtar Zain)

 

Merintis Usaha Bersama Warga

MTs Pakis dikelola secara swadaya oleh para relawan yang kebanyakan merupakan mahasiswa dari perguruan tinggi di Purwokerto untuk mengajar, bahkan kadang ada alumni yang sudah lulus masih mengajar dan menjadi relawan.

Untuk menutup biaya operasional, relawan yang menjadi pengelola sekolah beserta para siswa dan warga setempat merintis beberapa unit usaha.

“Kami memberlakukan belajar produktif, hampir tiga tahun ini kami memproduksi olahan kopi robusta yang banyak tumbuh di sekitar hutan,” lanjut Isrodin.

Dalam waktu dekat, pihaknya juga akan menjalin kerja sama dengan Perhutani untuk menggarap lahan menjadi kebun kopi.

“Ada wilayah hutan yang akan dijadikan demplot tanaman kopi, sebagai upaya pengembangan ekonomi berbasis agroforestry,” jelas Isrodin.

Tak hanya itu, sekolah ini juga mengembangkan paket wisata edukasi dengan memanfaatkan Telaga Kumpe di dekat sekolah sebagai salah satu destinasinya.

“Kami ada paket wisata edukasi, disinergikan dengan Telaga Kumpe, yaitu tempat wisata di bawah Perhutani. Kami akan memproduksi gula aren bersama warga. Kami sudah menanam cukup banyak, tahun ini sudah mulai bisa disadap untuk dijadikan gula aren,” tutup Isrodin.

Untuk menopang kegiatan produktif ini, sekolah juga mendatangkan relawan yang ahli di bidangnya masing-masing untuk memberikan pendampingan. Saat ini total ada sekitar 50-an siswa yang bersekolah di situ. Mereka terdiri atas siswa MTs dan program Paket C.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini: