Perangi Pembalakan Liar, Perempuan di Aceh Buat Kelompok Mpu Uteun Penjaga Hutan

7 Juni 2024
Kelompok Mpu Uteun di Aceh. (Foto: Instagram.com/lphk_damaranbaru)

Kepala Lembaga Pengelolaan Hutan Kampung (LPHK) Sumini membentuk Mpu Uteun, ranger perempuan dari Damaran Baru, Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh.

Mpu Uteun adalah skema Community Patrol Team (CPT) yang mana perempuan juga ikut jadi bagian ranger untuk menjaga hutan.

Berbeda dengan wilayah lainnya, di Damaran Baru ranger perempuan dan laki-laki saling bersinergi untuk mengawal, berpatroli, dan mengawasi segala aktivitas yang ada dalam 251 hektare wilayah hutan lindung.

Mpu Uteun merupakan kelompok ranger perempuan pertama di Aceh yang mendedikasikan hidupnya untuk melindungi hutan desa, terlepas dari perannya sebagai ibu dan pekerjaannya.

Kolaborasi antara ranger perempuan dan laki-laki Damaran Baru untuk menjaga hutan, membuktikan bahwa mereka bersama-sama akan menjadi tim yang lebih efisien untuk melindungi hutan desa.

(Kelompok Mpu Uteun di Aceh. AP Photo/Dita Alangkara)

 

Terbentuknya Mpu Uteun

Menyitat dari AP News, berdasarkan data Global Forest Watch sejak tahun 1950 lebih dari 740.000 km2 hutan hujan Indonesia ditebang, dibakar, atau terdegradasi untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, kertas, karet, pertambangan nikel, serta komoditas lainnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, deforestasi memang telah melambat, tetapi masih terus berlanjut.

Di Damaran Baru sendiri, banyak penduduk desa yang bergantung pada hutan sebagai lahan mata pencaharian mereka. Para petani memanen kopi dari semak-semak di lereng gunung, serta air yang mengalir dari lereng gunung menyediakan air untuk minum dan memasak di desa.

Namun, deforestasi yang parah dan penyalahgunaan sumber daya hutan seperti pembalakan liar, telah menimbulkan banyak kerugian bagi penduduk desa.

Pada tahun 2015, hujan lebat memicu banjir bandang di desa tersebut yang membuat ratusan orang mengungsi. Ketika air surut, Sumini pergi ke hutan dan melihat daerah aliran sungai (DAS) yang dipenuhi pepohonan di desanya telah ditebang secara ilegal.

“Saya melihatnya dan berpikir, ‘Inilah yang menyebabkan tanah longsor dan bencana,'” ujar Sumini dalam sebuah wawancara, disitat Jumat (7/6).

Selanjutnya, Sumini bertekad untuk menciptakan kelompok patroli hutan yang dipimpin oleh perempuan

“Terus kami ini sebagai perempuan mau gimana? Apakah kami harus diam dan apakah kami tidak bisa terlibat? Bisa saja, tapi ini kan namanya kemanusiaan, kita menjaga lingkungan ini dengan hati karena kita tidak tidak dibayar. Misi kita menyelamatkan gimana?” lanjut Sumini.

Akhirnya ia memelopori terbentuknya Mpu Uteun. Sempat menghadapi penolakan, Sumini pun mendapatkan bantuan dari tempatnya bekerja, yakni Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) untuk mendapatkan izin resmi.

Community Conservation Officer of Yayasan HAkA Rubama menjelaskan, pihaknya sangat mendukung apa yang dilakukan oleh LPHK, termasuk upaya untuk ikut berpatroli di kawasan hutan lindung.

Selain itu, Sumini pun merekrut perempuan di desanya untuk berpartisipasi dalam upaya melindungi hutan. Tak lupa, mereka yang sudah menikah juga meminta izin kepada para suami untuk menjadi anggota patroli, serta mempersilakan ranger laki-laki untuk berpatroli bersama.

Setelah izin diproses, Yayasan HAkA mulai mengajarkan para perempuan ini untuk menjadi ranger dengan metode konservasi hutan yang terstandardisasi.

Ketua Yayasan HAkA Farwiza Farhan menjelaskan, pelatihan pertamanya adalah belajar membaca peta dan mengajarkan metode standar kehutanan lainnya, seperti mengenali tanda-tanda satwa liar dan menggunakan GPS.

“Cara orang luar bernavigasi di sekitar hutan, sangat berbeda dengan cara masyarakat lokal. Mereka tahu itu, tapi belum tentu diterjemahkan ke dalam bahasa standar yang kami gunakan, seperti peta dan GPS. Menemukan dan menciptakan ruang di mana kita berbicara dengan bahasa yang sama ketika membicarakan hutan adalah kuncinya,” kata Farhan.

(Kelompok Mpu Uteun di Aceh. AP Photo/Dita Alangkara)

 

Kegiatan Mpu Uteun

Pada Januari 2020, Mpu Uteun atau women rangers resmi melakukan patroli pertama mereka. Sejak saat itu, mereka rutin melakukan pemetaan dan pemantauan tutupan pohon, membuat katalog tanaman endemik, dan bekerja sama dengan petani untuk menanam kembali pohon.

Kelompok Mpu Uteun secara berkala mengukur setiap pohon dan menandai lokasinya, menandainya dengan pita yang memperingatkan agar pohon tersebut tidak ditebang. Ketika mereka melihat seseorang di hutan, mereka akan mengingatkan orang tersebut mengenai pentingnya hutan bagi desa mereka dan memberikan bibit untuk ditanam.

Sumini mengatakan bahwa taktik rendah hati yang digunakan para wanita, telah efektif dalam membuat orang mengubah kebiasaan mereka. Sebelum patroli hutan dimulai, beberapa perempuan dalam kelompok ini bahkan sudah mencoba diplomasi lembut mereka di rumah.

Saat berpatroli, Mpu Uteun tidak membawa senjata, selain pisau besar yang mereka gunakan untuk membelah hutan saat dibutuhkan. Kekerasan di hutan pun hampir tidak pernah terjadi, dan para penjaga hutan biasanya lebih banyak daripada yang mereka temui.

Meskipun para wanita ini tidak memiliki kekuatan untuk menangkap orang, tetapi mereka dapat melaporkannya kepada pihak berwenang.

Kini, metode para penjaga hutan ini mulai diterapkan di tempat lain di Indonesia. Seiring dengan organisasi lokal, lembaga swadaya masyarakat, dan yayasan internasional yang membantu menyatukan kelompok-kelompok kehutanan yang dipimpin perempuan.

(Kelompok Mpu Uteun di Aceh. AP Photo/Dita Alangkara)

 

Turut Mengedukasi Perempuan

Kelompok Mpu Uteun telah bertemu dengan banyak perempuan dari berbagai provinsi di seluruh Indonesia yang terkena dampak deforestasi.

Di dalam agendanya, mereka saling berbagi informasi tentang program kehutanan lokal, mengajari masyarakat cara ikut dalam pemetaan hutan belantara, cara menyusun proposal dan mengajukan izin pengelolaan kehutanan, serta cara menuntut penegakan hukum yang lebih baik terhadap perburuan liar, pertambangan, dan pembalakan liar.

“Sekarang ada lebih banyak konektivitas antara ibu, nenek, dan istri yang berbicara tentang bagaimana menavigasi masalah dan menjadi pejuang lingkungan,” kata Farhan.

Para perempuan penjaga hutan di Damaran Baru mengatakan, dampak positif yang dirasakan dari adanya Mpu Uteun telah memotivasi mereka untuk melanjutkan pekerjaan mereka untuk generasi mendatang.

Salah satunya, adalah menemukan tanaman obat yang mungkin nantinya bisa dimanfaatkan oleh ibu-ibu di Damaran Baru.

“Saya mengajak para ibu lainnya untuk mengajari anak-anak dan komunitas mereka tentang hutan seperti yang kami lakukan. Kami ingin mereka melindunginya karena jika hutan tetap hijau, masyarakat akan tetap sejahtera,” tutup Sumini.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini: