Refleksi

[addthis tool="addthis_inline_share_toolbox_tw0n"]

Refleksi – Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya I (TIDAK) Layak Mati

Kelana Bhakti Budaya, inilah benteng terakhir seni pentas drama tradisional khas tanah Jawa. Namun jangan berharap menemukan suasana gebyar dan riuh penonton. Meski sepi penonton, pertunjukan jalan terus rutin setiap Jumat malam. Ketoprak yang sempat mengalami masa kejayaan pada tahun 1980-an hingga 2000-an ini, kini harus bertaruh melawan mati. “Bisa jadi selera publik memang sudah beralih, dengan persaingan media elektronik, VCD, TV dan lain-lain. Kedua bisa jadi ketoprak tak lagi bisa mengikuti perkembangan jaman, modernisasi. Ketiga, para penggemar fanatik, mereka juga sudah punah, mati satu persatu,” kata Dwi Tartiyasa, pendiri Kelana Bhakti Budaya. Meski berada di kota budaya, nyatanya minim sekali praktek kebudayaan yang terjadi di Yogyakarta. Kecamatan Cangkringan menjadi lokasi ke 49 bagi Ketoprak Tobong yang sebelumnya selalu perpindah-pindah, tetapi seperti biasa, pentas drama ini tetap sepi penonton. “Ketika antusiasme penonton begitu rendah, sebenarnya itu satu kenyataan yang harus kami hadapi, kenyataannya kami hidup di era yang seharusnya kami mati,” ujar Risang yang tetap semangat menampilkan Ketoprak Tobong dengan rutin. Bagaimana kisah Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya melawan mati di era modernitas?

Recommendation