Ubah Sampah Jadi Berkah, Profesor ITS Ciptakan Biofuel dari Limbah Plastik

12 Maret 2025

Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember Hendro Juwono. (Foto: Situs web ITS)

Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof. Dr. Hendro Juwono M.Si. meneliti tentang degradasi plastik dengan biomassa menjadi biofuel sebagai solusi masalah lingkungan dan energi.

Inovasi ini, dilatarbelakangi oleh meningkatnya jumlah penggunaan plastik di masyarakat yang menciptakan berbagai masalah lingkungan tersendiri.

Plastik terbuat dari polimer sintetis yang ternyata punya kemiripan dengan bahan bakar seperti minyak bumi. Inilah alasan Hendro mengubah plastik menjadi bahan bakar.

Hendro menjelaskan, sumber polimer dibagi menjadi dua, yaitu polimer alam dan sintetis. Polimer alam memiliki sifat yang mudah terdegradasi dan terurai kembali ke alam.

“Polimer alam itu seperti karet, protein, tepung, dan kolagen,” ujar Hendro dikutip dari situs web ITS, Rabu (12/3).

Berbanding terbalik dengan sifat polimer alam, polimer sintetis sulit terdegradasi dan terurai kembali ke alam. Contoh polimer sintetis, yakni polietilen, polipropilen, dan polistiren sebagai bahan baku plastik.

(Foto: Situs web ITS)

 

Tantangan Penelitian

Hendro kemudian melakukan penelitian dengan metode pirolisis, yakni memanaskan polimer plastik tanpa oksigen untuk mengubahnya menjadi bahan bakar.

Hasilnya sangat memuaskan karena bahan bakar yang dihasilkan punya kualitas yang sangat baik, bahkan lebih bagus dari bahan bakar yang biasa kita pakai.

Dalam penelitiannya, plastik yang telah diolah tersebut diuji dan menunjukkan angka Research Octane Number (RON)-nya mencapai nilai 98 hingga 102.

“Angka RON yang muncul menunjukkan kualitas lebih bagus daripada bahan bakar yang sekarang beredar di masyarakat,” kata Hendro.

Meskipun angka RON menunjukkan kualitas bagus, tetapi masih ada kekurangan. Untuk membuat limbah plastik menjadi gasoline, memerlukan suhu sebesar 400 derajat celsius.

Proses pembuatan suhu ini, tentunya memerlukan tegangan listrik yang cukup besar. Sementara itu, untuk biomasa seperti minyak nyamplung, minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO), dan minyak jelantah (Waste Cooking Oil/WCO) hanya memerlukan suhu sebesar 250 derajat celcius.

Untuk menghemat energi, Hendro akhirnya mencampurkan biomassa minyak nyamplung, minyak sawit, dan minyak jelantah, sehingga suhu yang dibutuhkan turun menjadi 300 derajat Celcius.

Selain untuk menghemat pengeluaran yang besar, bahan yang dibutuhkan juga lebih murah dan mudah didapatkan.

Hendro berharap, penelitiannya ini bisa membantu mengatasi masalah lingkungan dan energi. Ia juga ingin menginspirasi generasi muda untuk terus berinovasi dan mencari solusi untuk masalah-masalah yang dihadapi dunia.

“Penelitian ini memerlukan kesabaran dan waktu yang cukup lama,” tutup Hendro.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini: