Fandy Dawenan. (Foto: Instagram.com/fandy_dawenan)

Fandy Dawenan merupakan tunanetra yang memperjuangkan hak-hak disabilitas dan pendidikan di Papua Barat Daya. Bagaimana perjuangan Fandy?

Menyitat dari detik.com, Fandy nyaris 100% tunanetra sejak lahir. Matanya dari dulu hanya bisa melihat bayang-bayang benda.

Namun, kondisi ini tidak menghalangi semangat Fandy untuk menimba ilmu, bahkan hingga ke benua Australia.

Selama bersekolah, Fandy mengaku, dirinya merasakan tiga sistem pendidikan untuk penyandang disabilitas. Di antaranya segregasi, integrasi, dan inklusi.

Saat berkuliah, Fandy juga berusaha menyesuaikan diri sendiri dan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa lulus.

Fandy berusaha untuk memastikan bahwa individu tunanetra dan low vision memiliki kesempatan yang sama melalui pendidikan dan pelatihan.

 

Belajar Pakai Kaset

Untuk belajar di kelas, Fandy harus merekam menggunakan kaset tape saat dosennya sedang mengajar. Tidak hanya itu, saat itu membaca kamus pun sangat sulit bagi Fandy.

“Saya waktu SMA, kadang saya minta tolong teman saya bacakan buku paketnya, baru saya rekam. Di rumah saya putar lagi, saya dengar lagi. Nah, tapi kan orang tidak punya waktu banyak ya untuk meluangkan waktu, itu pasti kan orang punya kegiatan yang lain. Saya tidak selalu bisa dibantu. Nah, sudah akhirnya dengan sering perkembangan teknologi makin canggih,” ujar Fandy disitat dari detik.com, Rabu (29/5).

Fandy juga mengaku tak sampai mengalami perundungan akan kondisinya itu. Pasalnya, selama SD-SMP Fandy bersekolah di SLB, jadi relatif aman. Saat duduk di bangku SMA, Fandy malah mendapatkan dukungan dari teman-temannya.

“Waktu SMA juga karena pada dasarnya kalau SMA, kan, sudah mulai ke arah pemikiran yang lebih dewasa, ya, jadi anak-anak lebih menghargai. Cuma, waktu itu memang yang mereka senang karena saya unggul di beberapa bidang studi tertentu, itu yang buat mereka jadi saling bantu. Misalnya, kan, saya memang suka Bahasa Inggris dari dulu, mereka suka nanya ke saya kalau ada PR, segala macam. Jadi saya bantu mereka, mereka juga bantu saya di bidang studi yang lain. Akhirnya saya tidak menemukan perundungan dan sebagainya itu yang saya rasakan,” kesannya.

(Fandy Dawenan di depan Flinders University)

 

Mengajar di SLB

Fandy meraih gelar Master Kebijakan dan Praktik Disabilitas dari Flinders University.

Setelah lulus, Fandy mengajar di Sekolah Dasar Luar Biasa 73 Malaingkedi, Sorong, Papua Barat Daya, sekolah dasar yang pernah ia tempati semasa kecil.

“Saya membimbing siswa tunanetra di sebuah sekolah dasar inklusif di Kota Sorong untuk menggunakan alat bantu baca seperti kaca pembesar dan huruf cetak besar, sehingga memudahkan mereka dalam mengikuti proses pembelajaran,” jelas Fandy.

Meski begitu, Fandy tetap memiliki semangat yang tinggi untuk mengajar. Fandy juga mengajar Bahasa Inggris di SMAN 10 Raja Ampat di Pulau Waigeo Timur, Papua Barat Daya, yang mana seluruh siswanya adalah penyandang disabilitas.

Ia juga menjadi dosen praktisi selama satu semester di Universitas Muhammadiyah Sorong (UNIMUDA) tahun lalu.

“Saya mengajar mata kuliah pendidikan inklusi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus di jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Guru Sekolah Dasar,” kata Fandy.

Selain itu, Fandy juga berkontribusi dalam berbagai kegiatan sebagai narasumber. Di antaranya, seperti kegiatan sosialisasi Pendidikan Inklusif untuk guru-guru sekolah dasar negeri di Sorong yang diselenggarakan oleh UNICEF.

Kemudian, kegiatan sosialisasi Pendidikan Inklusif untuk guru-guru SD, SMP, dan SMA di seluruh Kabupaten Raja Ampat yang diselenggarakan oleh Pusat Mobilisasi Guru Papua Barat.

 

Dapat Penghargaan

Belum lama ini, Fandy diumumkan menjadi penerima Penghargaan Australian Alumni Award kategori Mempromosikan Pemberdayaan Perempuan dan Inklusi Sosial 2024.

Disitat dari Australia Awards in Indonesia, Fandy telah mendedikasikan dirinya untuk memberdayakan para penyandang disabilitas, terutama mereka yang tunanetra atau yang memiliki penglihatan rendah.

“Saya sangat berterima kasih kepada Kedutaan Besar Australia atas penghargaan ini. Tapi saya merasa masih banyak yang harus saya capai,” kata Fandy.

Lulusan Master of Disability Policy and Practice Program di Flinders University ini mengaku, “Masih banyak yang harus dilakukan untuk komunitas disabilitas di Papua, terutama tunanetra, untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.”

 

Melatih Tunanetra di Papua

Pekerjaan Fandy di Papua Barat Daya, telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan bagi para penyandang tunanetra.

Sejak tahun lalu, Fandy berperan penting dalam melatih para penyandang tunanetra di Sorong, Papua Barat Daya, melalui sebuah proyek yang didanai oleh Australian Alumni Grant Scheme (AGS).

Proyek berjudul “Meningkatkan Kemandirian dan Kualitas Hidup Penyandang Tunanetra di Kota Sorong dan Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya” ini, berfokus pada literasi digital, pelatihan orientasi dan mobilitas, serta keterampilan hidup sehari-hari.

Proyek ini, bertujuan untuk meningkatkan kemandirian para penyandang tunanetra di Kota dan Kabupaten Sorong.

Proyek yang akan selesai pada akhir Mei 2024 tersebut, telah memberikan manfaat bagi sekitar 25 peserta tunanetra dari Kota dan Kabupaten Sorong.

Fandy mengusulkan proyek ini karena para penyandang tunanetra di Kota dan Kabupaten Sorong masih menghadapi berbagai tantangan sehari-hari.

“Misalnya, mereka bergantung pada orang lain untuk bepergian dan kurang percaya diri dalam interaksi sosial. Mereka juga kesulitan mengoperasikan perangkat digital, tidak seperti rekan-rekan mereka di kota-kota lain di Indonesia,” jelas Fandy.

Menurut Fandy, keterampilan digital sangat penting saat ini untuk mendukung kehidupan sehari-hari dan peluang masa depan mereka, termasuk pekerjaan.

“Dengan pelatihan yang didanai oleh AGS ini, saya berharap para penyandang tunanetra dapat menjadi lebih mandiri dan meningkatkan kreativitas serta kepercayaan diri mereka,” ujar Fandy.

Selain proyek ini, sebagai Ketua Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) Provinsi Papua Barat Daya, Fandy juga melakukan beberapa terobosan terkait literasi digital.

Peraih penghargaan Guru Berprestasi Nasional 2014 dan Guru Inspiratif 2022 ini, mengadakan pelatihan komputer untuk empat orang tunanetra di Kota Sorong, dengan dukungan DPP Pertuni dan British Council.

Ia juga menginisiasi pelatihan Kepemimpinan Dasar, bagi 18 penyandang tunanetra di Kota dan Kabupaten Sorong dengan dukungan DPP Pertuni.

(Fandy Dawenan)

 

Rencana ke Depan

Fandy masih memiliki banyak cita-cita dan ide untuk diimplementasikan. Ia mengaku, bahwa program-program yang ia jalankan saat ini belum menjangkau banyak tunanetra dan orang dengan low vision.

“Papua Barat Daya adalah provinsi yang sangat luas. Saya ingin program-program saya bisa menjangkau semua penyandang tunanetra dan low vision di sini. Ada beberapa hal yang diperlukan untuk mengadvokasi hak-hak mereka,” kata Fandy.

Salah satu tujuannya, adalah mengadvokasi peraturan daerah tentang penyandang disabilitas di Provinsi Papua Barat Daya. Ia juga ingin berkolaborasi dengan pemerintah dan berbagai organisasi, untuk memastikan tersedianya data disabilitas yang akurat dan terperinci.

“Data yang memadai sangat penting untuk memetakan kebutuhan penyandang disabilitas dan memastikan hak-hak mereka terpenuhi,” Fandy menekankan.

Membentuk organisasi disabilitas di Provinsi Papua Barat Daya juga menjadi tujuan utama.

Terakhir, ia berharap program-program Kedutaan Besar Australia juga dapat melibatkan lebih banyak lagi penyandang disabilitas di Provinsi Papua Barat Daya dan Tanah Papua.

“Upaya terpadu sangat penting untuk advokasi yang lebih kuat,” tutup Fandy.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini: