Cerdas! Siswa MTsN 2 Surabaya Temukan Detektor Dini Disleksia Lewat Gelombang Otak

11 September 2024
Fathi Zahiya dan Nur Maisyah Ilmira, penemu alat detektor dini disleksia. (Foto: Kementerian Agama)

Fathi Zahiya (14) dan Nur Maisyah Ilmira (14), siswi kelas IX Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 2 Kota Surabaya menemukan alat detektor dini disleksia. Seperti apa proses deteksinya?

Penelitian kedua siswi MTsN 2 Kota Surabaya ini bertajuk “Implementasi Metode Neural Network dan Elektroensevalografi pada Rancang Bangun Aplikasi Deteksi Disleksia Berbasis Mobile (DMD)”.

Melalui temuan ini, penderita disleksia dapat dideteksi secara instan tanpa melalui rangkaian tes yang melelahkan sebagaimana selama ini ditempuh oleh para psikolog.

Disleksia sendiri, merupakan kondisi di mana seorang anak mengalami kesulitan memahami sesuatu, ditandai kesulitan membaca dan menulis.

Disleksia menjadi masalah yang cukup umum di Indonesia, dengan prevalensi 10% menurut data Dyslexia Center Indonesia (2019).

Menurut Vira Wardati, guru pembimbing penelitian ini, pada setiap kelas berisi 30 anak, biasanya ada 2-3 anak yang sebenarnya menderita disleksia, dan banyak dari mereka tidak ketahuan, sehingga tidak dilakukan terapi.

“Tanda-tanda anak disleksia itu, waktu kecil mereka terlambat bicara dan biasanya saat usia sekolah kesulitan diajari menulis,” ujar Vira disitat dari situs web Kementerian Agama (Kemenag), Rabu (11/9).

(Fathi Zahiya dan Nur Maisyah Ilmira)

Deteksi Lewat Gelombang Otak

Fathi Zahiya menjelaskan, otak manusia memiliki gelombang alfa, beta, delta, gama, dan theta. Gelombang-gelombang tersebut, dapat dideteksi dari permukaan otak dengan alat elektroensefalografi (EEG) yang dapat mengukur amplitudonya.

Menurut Fathi, pada penderita disleksia, gelombang beta dan gama-nya selalu tidak beraturan.

“Dari sini saja sudah dapat disimpulkan bahwa obyek mengalami gangguan disleksia,” kata Fathi.

Simpulan ini kemudian diuji dengan metode epoch selama 20 kali, dan mendapatkan hasil akurasi maksimal 100%.

Selama ini, orang tua yang memiliki anak disleksia akan datang ke psikolog untuk melakukan serangkaian uji coba.

Biasanya psikolog akan mengamati tanda-tanda umum, seperti kesulitan baca tulis, mengingat warna, kesulitan memahami tata bahasa, sulit mengucapkan kata yang baru dikenal, dan lamban memahami sesuatu.

Kemudian psikolog memberikan soal ujian yang terbagi dalam beberapa tahap. Setelah hasilnya dianalisa, baru ditarik simpulan final dalam waktu 10 hari.

“Proses ini cukup melelahkan dan terkadang tidak diteruskan hingga tuntas,” lanjutnya.

(Fathi Zahiya dan Nur Maisyah Ilmira)

 

Cara Kerja Alat Deteksi Disleksia

Fathi menjelaskan, cara penggunaan alat deteksi disleksia ini cukup mudah. Nantinya, alat ini akan ditempelkan beberapa sensor di kepala anak.

Kemudian, alat EEG membaca gelombang dalam kepala anak. Hasilnya, alat akan menunjukkan grafik semua gelombang otak secara terperinci dalam skala amplitudo.

“Jadi setelah dites langsung keluar hasilnya, dengan hasil skor yang akurat,” kata Fathi.

Menurut Vira Wardati, guru pembimbing Fathi dan Nur, metode ini belum dipakai oleh para psikolog.

“Sampai saat ini belum ada aplikasi alat ini untuk deteksi disleksia. Para psikolog masih menggunakan tes manual,” jelasnya.

 

Perbedaan Deteksi Disleksia oleh Psikolog dan Alat Detektor Dini

Perangkat ini disiapkan dalam 2 bulan oleh Tim MTsN 2 Kota Surabaya dengan biaya sebesar Rp5 juta.

Perlu diingat alat yang diciptakan ini hanya detektor, bukan untuk terapi. Meski demikian, penting artinya bagi penderita disleksia agar dapat dideteksi sejak dini, sehingga pengobatannya lebih mudah dan perlakuannya lebih tepat.

Disleksia dapat diterapi secara dini dan lebih besar peluang berhasilnya secara tuntas. Intervensi dini dapat membantu anak-anak disleksia menjadi pembelajar yang terampil.

Selama ini para psikolog mengenal empat jenis terapi disleksia, yaitu terapi wicara (speech therapy), terapi multisensori, terapi program membaca, dan terapi yoga.

Keempatnya dipercaya dapat meningkatkan kemajuan otak kecil untuk anak-anak dengan disleksia, dispraksia, dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Semuanya adalah gangguan neurobiologis yang memengaruhi fungsi otak.

Temuan siswi MTsN 2 Surabaya ini, menjadi salah satu finalis di ajang Madrasah Young Researcher Supercamp (MYRES) 2024 yang digelar Kemenag, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Pendis) yang digelar di Ternate, Maluku Utara, 3-7 September 2024.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini: