Penyelamat Kekeringan di Yogyakarta, Sri Wahyuningsih Ubah Air Hujan Jadi Air Minum

4 Oktober 2024
Sri Wahyuningsih pendiri Komunitas Banyu Bening. (Foto: Pramuka DIY)

Sri Wahyuningsih mendirikan Komunitas Banyu Bening di Desa Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, untuk menyolisasikan penggunaan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk air minum.

Komunitas Banyu Bening didirikan pada 12 Maret 2012 oleh Sri Wahyuningsih (57), untuk mengampanyekan pemanfaatan air hujan untuk kehidupan sehari-hari.

Komunitas ini muncul dari keprihatinan Sri terhadap krisis air yang semakin meresahkan. Di beberapa wilayah, air bersih semakin sulit diperoleh.

Masyarakat yang tidak memiliki akses bersih, terpaksa mengandalkan air kemasan atau air galon yang dijual di pasaran. Menurut Sri, hal ini hanya akan memperburuk kondisi eksploitasi sumber daya air yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar.

Padahal, Indonesia memiliki sumber daya air yang melimpah karena curah hujan di Indonesia cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat.

Inilah yang membuat Sri menggagas sistem pemanenan air hujan. Lahirnya Komunitas Banyu Bening, menjadi salah satu upaya mencegah dampak negatif yang diperkirakan akan terjadi, serta menanggulangi dampak negatif yang timbul sebagai akibat adanya bencana kekeringan menggunakan budaya kearifan lokal.

Melalui Komunitas Banyu Bening, Sri menjadi pahlawan bagi masyarakat sekitar karena kerap membagikan galon air hujan siap pakai secara gratis.

“Banyu Bening memiliki visi mengelola dengan sepenuh hati air hujan untuk kebutuhan sehari-hari, melalui perubahan cara pandang masyarakat terhadap air hujan, dan membentuk kemandirian masyarakat untuk mendapatkan akses air minum yang mudah. Air hujan adalah air bersih yang bisa menjadi solusi berbagai masalah yang timbul akibat eksploitasi air tanah,” ujar Sri disitat dari situs web Pemerintah Kabupaten Sleman, Jumat (4/10).

(Sri Wahyuningsih)

Panen Air Bersih dengan Elektrolisis

Setiap hari, warga dari berbagai tempat datang mengantre di depan rumah Sri sambil membawa wadah kosong yang akan mereka gunakan untuk mengisi air.

Sri memang secara rutin membagikan air hujan yang telah dipanen dan diproses melalui teknologi elektrolisis. Elektrolisis air, adalah proses penguraian air (H2O) menjadi hidrogen (H2) dan oksigen (O2) dengan menggunakan arus listrik.

Proses ini terjadi melalui reaksi elektrokimia yang berlangsung di dalam unit yang disebut elektroliser. Pengolahan air hujan dengan elektrolisis, dapat menaikkan pH air dan menurunkan kandungan padatan terlarut (TDS).

Sri mengaku, saat awal komunitas ini berdiri, pihaknya sempat merasa bingung bagaimana cara agar kampanye ini sampai kepada masyarakat. Apalagi, daya tolak masyarakat terhadap pemanfaatan air hujan masih sangat tinggi.

“Ketika kami melakukan praktek ini dari tahun 2012, ternyata pelan-pelan kami merasakan bahwa kami lebih sehat dari sebelum memanfaatkan air hujan ini,” ungkap Sri.

 

Proses Pemurnian Air Hujan

Sebelum diolah, Sri dengan telaten menampung air hujan di depan rumahnya menggunakan toren berkapasitas total 20.000 liter.

Tangkapan air hujan disalurkan ke toren melalui pipa dengan teknologi “Gama Rain Filter”. Teknologi jadi salah satu cara Sri untuk mengampanyekan bahwa air hujan bisa dikonsumsi.

Air yang sudah dipanen, kemudian akan melewati tiga kali proses penyaringan untuk memastikan kebersihannya.

“Filterisasi pertama di talang, dipastikan bagaimana tikus, cicak, tidak masuk ke dalam tampungan air kita. Kedua, filterisasi agar air hujan pertama tidak masuk ke tampungan hujan akhir karena ada pipa tersendiri. Ketiga, ketika mau masuk ke tandon, kita filter lagi,” jelas Sri.

Selanjutnya, air hujan akan memasuki tahap elektrolisis menggunakan alat elektrolisa air untuk mengurai unsur mineral air yang memisahkan asam basanya air hujan.

“Secara sederhana saja, bagaimana air hujan ini diubah menjadi air yang layak minum tanpa direbus. Di situ nanti ada pertukaran antara ion positif dan negatif yang nanti akan memisahkan mineral air, menjadi air yang asam dan basa,” lanjut Sri.

(Warga mengantre di rumah Sri)

 

Terapi Air Hujan

Selain digunakan sehari-hari, kata Sri, air yang telah melalui proses elektrolisis juga bisa digunakan untuk terapi di Komunitas Banyu Bening.

Ini karena, air yang telah melalui proses elektrolisis fungsinya bisa jadi lebih maksimal, sehingga air yang masuk dalam tubuh bisa menjadi sangat efektif dan terserap oleh sel tubuh, sehingga daya tahan tubuh bisa terjaga.

Terapi di Banyu Bening pun beragam. Mulai dari penyembuhan HIV, penyembuhan berbagai jenis kanker, seperti payudara, kanker otak, kanker getah bening, kanker serviks, dan sebagainya, penyembuhan meningitis, gagal ginjal, jantung bengkak, penyumbatan jantung dan masih banyak lagi.

 

(Sekolah Air Hujan)

Membangun Sekolah Air Hujan

Untuk mengedukasi tentang air hujan, Sri juga menggagas Sekolah Banyu Bening atau Sekolah Air Hujan pada tahun 2019. Melalui sekolah ini, Sri mengenalkan konsep meminum air hujan.

Sekolah Banyu Bening, menjadi sekolah nonformal pertama di Indonesia yang mempelajari tentang hujan.

Sekolah ini, mengajarkan bagaimana cara memanfaatkan, mengelola, bahkan memanajemen air hujan untuk kebutuhan sehari-hari, serta mengatasi kemarau panjang.

Sekolah Air Hujan mengajarkan bahwa air hujan yang basah, dapat digunakan untuk minum dan bahan obat-obatan, sedangkan yang asam dapat dijadikan bahan pupuk cair organik.

Tak hanya itu, di Sekolah Banyi Bening juga ada pelajaran Bahasa Jawa, kelas tari, hingga pencangkokan tanaman untuk konservasi alam.

Adapun upaya yang telah dilakukan Sekolah Banyu Bening dalam menyosialisasikan air hujan, yakni mengedukasi masyarakat tentang air hujan sebagai salah satu solusi memperoleh air bersih yang dengan mudah didapatkan saat ini.

Sekolah Banyu Bening juga turut membangun kesadaran masyarakat untuk menginjeksi, atau memasukkan kembali air hujan ke dalam tanah menggunakan konsep 5M, yakni memanen, mengelola, meminum, dan menampung secara mandiri.

“Sekolah air hujan dapat dijadikan tempat pendidikan karakter bagi generasi penerus, khususnya dalam hal memelihara lingkungan. Jika kita dapat bersahabat baik dengan alam di sekitar kita, maka alam juga akan memberikan banyak manfaat kepada kita semua,” kata Sri.

Sekolah Air Hujan membuka kelas regular setiap Sabtu dan Minggu. Sekolah in terbuka untuk siapa saja, tidak ada batasan usia untuk sekolah yang menerapkan belajar sambil praktik ini. Siapa pun bisa bergabung dan tidak dikenakan biaya sepeser pun.

Kurikulum Sekolah Banyu Bening diterapkan sesuai dengan latar belakang pendidikan peserta. Misal, untuk anak-anak bisa dilakukan sembari outbound, tetapi tujuannya sama, yakni kemandirian air untuk semua.

“Krisis edukasi ini, masyarakat enggak tahu apa yang terjadi saat ini. Merasa enggak ada masalah, enggak perlu solusi. Padahal kita saat ini dalam masalah. Inilah yang menjadi tantangan kami untuk membuka krisis edukasi. Kita harus melakukan sesuatu, sesuai kemampuan kita masing-masing. Ini harapannya kita mandiri air karena curah hujan kita itu luar biasa sebetulnya. Sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan kita,” tutup Sri.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini: